ibu, bukan mama



Ibu, bukan Mama
 
 pokoknya  sehabis malam tahun baru nanti, besok nya, kamu, fero, kinar, bayu dan rena  pergi ke kampung ayah mu. Ibu sudah sewa mobil sama om kino buat kalian kesana. Om kino juga sudah menyuruh pak pilo untuk jadi supir kalian nanti. Jadi, sudah tidak ada alasan lagi buat nolak silaturahmi. Bo yo tinggal dateng aja ko susah banget. Apa kamu engga kangen sama ayah mu apa ta? “. Sambil memotong wortel kecil-kecil, ibu terus berkicau dengan nada setengah memarah. Aku tau, ibu sedang tidak marah, beliau hanya ingin aku, satu adik dan dua kakakku berkunjung ke serang, banten, tempat dimana ayah ku tinggal sekarang. Sambil membantu mengaduk terigu yang sudah dicampur dengan air, ku beranikan diri bertanya pada ibu.
“ tapi kita disana engga menginap ‘kan bu?”.
“ ya terserah kalian mau menginap apa engga. Nanti pak pilo juga ikut menginap bersama kalian karna beliau engga mungkin bolak-balik Jakarta-serang.” Ucap ibu sambil menaruh potongan wortel ke dalam tepung terigu yang sedari tadi aku aduk di dalam mangkok berukuran besar yang terbuat dari stainlees  steel itu.
“ engga usah menginap lah.. kasihan juga pak pilo. Kan beliau juga besok nya harus kerja bu…. “. kak fero tiba-tiba datang menghampiri aku dan ibu yang sedang meracik bahan-bahan untuk membuat bakwan.
“ nah, iya tuh, betul bu, engga usah menginap ya.” Sambungku
“ yasudah terserah. yang penting kalian harus tetap kesana, mengunjungi ayah. Memang nya kalian tidak rindu sama ayah apa?”. Tanya ibu. Aku dan kak fero saling menatap, terdiam mendengar ucapan ibu, dan kami meninggalkan ibu yang sedang mengisi minyak di wajan; mengabaikan pertanyaan ibu tadi…

Langit pagi Nampak begitu cerah. Sisa-sisa kembang api, petasan dan abu bara api masih tersisa diantara rumah-rumah tetanggaku. Untung nya, keluarga ku mempunyai kesibukan masing-masing untuk merayakan pergantian tahun tadi malam. Jadi, kami tidak mengotori halaman rumah kami sendiri. Pukul 05.30 nasi goreng dan roti bakar sudah tersedia rapi diatas meja makan, ya, ibu menyiapkan itu semua untuk sarapan kami pagi ini.
“ mana kakak-kakakmu yang lain? Udah pada siap belum ta?”. Ucap ibu. Aku menghampiri ibu dan duduk di kursi meja makan.
“ udah pada siap ko bu. Bentar lagi juga selesai. Emang pak pilo nya udah dateng?.” Tanyaku sambil menyendok nasi goreng yang dicampur dengan sosis itu.
“ pak pilo bilang, beliau lagi dijalan. Tadi udah nelfon ibu”.
wuiiiih, sarapan nya udah siap tuh. Makan aah.. “ . kak fero datang dari kamar dengan membawa tas berukuran besar yang di gemplok nya. Lalu, dengan cepat, dia mengambil posisi duduk untuk bergabung bersama aku dan ibu yang sedang sarapan.
“ bayu dan kinar mana fer?.” Tanya ibu
“ bayu lagi pake sepatu bu. Kalo kinar kata nya engga pengen sarapan.”
“ yasudah. Kalian dipercepat ya makan nya.” Pinta ibu. Suara mobil memasuki halaman rumah. Itu pasti pak pilo. Aku sudah menghabiskan sarapanku dan menunggu kak fero makan.
“ assalamualaikum…” . ucap pak pilo


“ waalaikumsalam…” . ucap kami berbarengan. “ sarapan dulu pak.” Ibu bangkit dari kursi meja makan menghampiri pak pilo.

“ udah sarapan bu, terimakasih. Nanti kekenyangan, ngantuk lagi,pas nyetir.” Ibu menganggukan kepala. “ anak-anak udah pada rapih bu? Kalo sudah,bisa langsung jalan, takut macet, apalagi ini kan hari libur” . lanjut pak pilo.
“ udah siap kok pak. Ayuuuk cus.” Kata bayu yang tiba-tiba datang
“ iya udah siap nih. Kita ke dalem mobil duluan ya pak. Bu, kita pamit ya. Assalamualaikum…”. Ucap aku, kak fero dan kak kinar.
“ iya hati-hati kalian. Waalaikumsalam.” Jawab ibu. Kami pun berpamitan sama ibu, meninggalkan ibu sendirian untuk sehari ini saja. Rasanya berat, tapi harus apalagi? Inilah yang ibu mau, berkunjung ke rumah ayah. Ayah ? Masih pantaskah beliau ku panggil dengan sebutan “ayah?”…..

Perjalanan cukup mengasyikan karena Jakarta diguyur hujan dengan intensitas sedang. Jalan tol dari semanggi yang kami lalui teramat lancar. Pak pilo mengemudikan dengan kecepatan sedang. Bayu yang duduk dibagian depan menemani pak pilo kulihat sedang asyik mengobrol dengan pak pilo. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang ku tau, bayu menjadi penunjuk jalan untuk sampai ke kampung ayah, karena sebelumnya dia sudah  pernah kesana.
Kak fero sudah tertidur pulas di bangku tengah. Seperti nya dia kekenyangan karena sedari tadi ngemil kacang polong sendirian. Sementara kak kinar, dia memang hobi tidur dengan memakai handsfree di telinga nya. Perjalanan yang cukup memakan waktu ±3 jam ini membuat segalanya lelah. Aku pun sepertinya seperti itu, ingin tidur seperti kak fero dan kak kinar. Beda nya, aku mengantuk karena udara yang sejuk sehabis hujan tadi.
Badanku terasa ada yang menggoyang. Sepertinya, kami sudah berada diluar Jakarta dan sekitarnya. Benar saja, kak fero membangunkanku untuk menunjukkan sesuatu yang akan kami lewati nanti.
“ ta… bangun ta.. dikit lagi kita bakalan ngelewatin jalan yang nama nya karet. Jalan yang mempunyai lika-liku dan tanjakan yang curam. Siap-siap berdo’a. soalnya ini jalanan serem banget deh. Tapi keren, kaya forks di film twilight itu loh…”.
“ serius? Emang ini udah jam berapa sih?.” Tanyaku
“ jam sebelas. Dikit lagi sampe kok.”
hah? Jam sebelas? Berarti cukup lama ya aku tidur,gumam ku dalam hati. Ku lihat kak kinar masih tertidur pulas. Dasar pelor…
aku menikmati pemandangan sekitar. Mengamati setiap jalan. Jalan yang tak pernah ku lewati sebelumnya. Kami sudah memasuki kampung Rengas, pantas saja, jarak antara rumah ke rumah yang lain cukup jauh. Gunung-gunung yang ditumbuhi pohon lebat begitu Nampak dari jalan raya. Sawah-sawah dan sungai membentang luas sepanjang jalan. Tiba-tiba, handphoneku berbunyi. Ibu memanggil.
“ assalamualaikum ta..”. salam ibu.
“ walaikumsalam. Ada apa bu?”. Tanyaku. Kak fero dan bayu menengok ke arahku.
“ kamu udah ngelewatin jalan karet dan sekitarnya?”.
“ belum. Dikit lagi mau ngelewatin bu. Kenapa?”
“ yaudah baca-baca do’a. ibu bantu do’a dari sini semoga mobil nya kuat nanjak tanjakan nya. “ ucap ibu
“ iya bu… aaaamiiin.”
“ yasudah, ibu tutup dulu telfonnya. Assalamualaikum.”
“ walaikumsalam..”. jawabku. Telfon terputus. Aku terdiam kemudian. Betapa tegar nya ibu. Ibu yang kupunya saat ini adalah ibu yang luar biasa.
“ ibu bilang apa kak?”. Tanya bayu.
“ kata ibu, kita harus baca-baca do’a. soalnya kita udah mau memasuki jalan karet. Emang kaya apa sih jalanannya? Jadi penasaran.” Kataku sedikit sewot.
“ ini sebentar lagi kita akan lewatin jalan karet dengan tujuh tanjakan yang ekstrem.” Jelas pak pilo. “ kita banyak-banyak berdo’a aja biar mobilnya kuat nanjak.” Tambahnya.
“ ini dia karet…” kata kak fero dan pak pilo berbarengan. Kak kinar pun bangun dari tidurnya. Benar saja, tanjakannya begitu ekstrem. Aku memegang kuat pintu mobil sambil sesekali memjamkan mata dengan mulut yang tak henti-henti nya berkomat-kamit mengucap istigfar, memohon perlindungan pada tuhan.
Karet. Ya, jalan ini dipenuhi oleh pohon karet dengan tanah yang begitu luas. Saking tertata nya, tanah itu seperti bukit. Pohon karet tertata rapih, udara nya pun sejuk. Sungguh pemandangan yang belum ku temui dijakarta. Dan, ketujuh tanjakan ini sangatlah berbahaya. Tidak hanya tanjakan, turunan jalan nya pun tidak kalah ekstrem dan curam. Seperti naik roaler coaster.
Setengah jam sudah kami melewati jalan Karet dan ketujuh tanjakan ekstrem tersebut. Sekitar dua puluh lima menit lagi, kami akan sampai dikampung ayah. Aku dan kak kinar tidak bisa lagi membayangkan seperti apa wajah ayah sekarang. Kata kak fero dan bayu yang sudah lebih dulu pernah kesana, ayah jauh lebih kurus dibandingkan saat masih tinggal bersama kami dan ibu sebagai keluarga yang utuh. Ya… ayah dan ibu bercerai saat kami masih kecil. Saat aku duduk dibangku kelas empat sekolah dasar. Sejak saat itu, entah apa alasannya, kami semua;aku, adik dan kakak-kakakku yang lain lebih memilih tinggal bersama ibu ketibang bersama ayah yang kini terlalu cepat mendapatkan pengganti ibu.
  
 
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alfa Fawzan (2)

Alfa Fawzan,

introducing, synopsis